Haruskah
menjadi perempuan berdaya, berkarya, dan berjaya?
Apakah
perempuan berdaya, berkarya, dan berjaya hanya bisa tercipta di luar rumah?
“Terima
kasih, Bu.” Satu kata yang ingin saya ucapkan
manakala bisa berjumpa dengan Ibu Kartini. Tokoh pejuang pendidikan dan
literasi bagi kaum perempuan. Setali tiga uang dengan yang ditulis oleh
Titin Triana, S.H, M.H, dalam bukunya yang berjudul “Perempuan Cerdas, Berdaya,
dan Bahagia,” yaitu “Perempuan sebagai salah satu elemen masyarakat mempunyai
peranan yang signifikan dalam pembangunan dan kemajuan suatu bangsa. Perempuan
dapat menggali potensi yang dimilikinya sehingga bisa dimanfaatkan secara
maksimal baik bagi diri sendiri, keluarga maupun masyarakat.
Sepakat
dengan pemikiran cerdik Ibu Kartini dan Titin Triana, saya membuka pintu rumah
mungil nan sederhana. Tidak perlu membuat sungai air mata melihat perempuan
lain bekerja, berpakaian seragam, dan berpenghasilan tetap setiap bulan. Ibu
rumah tangga tetap bisa berdaya. Tetap bisa berkarya. Mengapa? Karena inspirasi
itu tanpa batas.
Bagaimana
caranya setiap perempuan bisa berdaya dan berkarya penuh inspirasi dari rumah?
1. Sesuaikan bakat dan minat.
Setiap
orang mempunyai bakat dan minat. Baik yang tersurat maupun yang masih tersirat.
Mengerjakan sesuatu yang dilandasi dengan bakat dan minat dibalur keikhlasan
akan mendatangkan kenyamanan. Meski tantangan menghadang. Mengenali bakat dan
minat itu penting untuk menentukan arah hidup. Beragam tes minat dan bakat bisa
membantu apabila masih dilanda kebingungan mengetahui bakat dan minat.
Sebagaimana
yang saya lakukan. Minat saya di bidang pendidikan dan literasi. Bakat saya itu
mengajar dan menulis. Maka, saya memutuskan untuk berdaya dan berkarya di
bidang tersebut.
Apa
saja yang saya lakukan sebagai pengejawantahan perempuan literat berdaya dan
berkarya sesuai bakat dan minat?
a. Fasilitator Pendidikan dan Literasi.
Semenjak Tahun 2014, saya mendedikasikan diri sesuai
bakat dan minat sebagai Fasilitator Pendidikan dan Literasi. Sesuai namanya,
kegiatan yang saya lakukan seputar dua dunia tersebut. Mengajar bidang literasi
di berbagai sekolah yang mengundang sebagai mentor, menjadi narasumber
acara-acara literasi, menginisiasi dan mendampingi kepenulisan buku untuk para
guru dan siswa adalah contoh sebagian kecil kegiatan yang telah saya lakukan.
b. Mendirikan
Rumah Pendidikan dan Literasi.
Rumah Pendidikan dan Literasi yang
saya beri nama “Moco Izzi.” Moco yang disarikan dari bahasa Jawa
yang berarti Membaca. Sementara kata “Izzi” berasal dari bahasa Arab yaitu
“Izzah” yang berarti nilai diri. Kata “Izzi” juga bisa diplesetkan dari bahasa
Inggris yaitu Easy yang berarti mudah. Jadi, filosofi dari
“Moco Izzi” yakni “Membaca itu suatu nilai diri. Membaca itu mudah.”
c. Kutu
Buku
Bagaimana
mencapai keberhasilan menularkan virus literasi apabila saya sendiri tidak
rutin terjun di dunia literasi? Seperti, rajin membaca buku. Kutu buku,
istilahnya. Menimba ilmu dengan rajin membaca buku ini bisa menjadi penuntun
masuk surga. “Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan
mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim, no. 2699).
Bagaimana cara menambah koleksi buku di Moco Izzi?
Pertama, membeli. Kedua, apresiasi dari penerbit. Melalui tulisan resensi buku
yang saya kirim ke surat kabar. Ketiga, rajin mengikuti kuis literasi yang
diadakan oleh penulis, pegiat literasi, dan penerbit yang berhadiah buku. JNE
memfasilitasi pengiriman pesan "cinta" dari penulis Lampung, Mbak
Izzah Annisa ke saya.
Seperti halnya kuis Kang
Maman, seorang penulis dan pegiat literasi yang telah lama bekerjasama dengan
JNE bergerak dalam bidang literasi. Sebut saja, mendonasikan buku-buku termasuk
kitab suci ke penjuru Indonesia.
Buku-buku
“cinta” dari penerbit dikirim dengan penuh cinta oleh JNE. Srikandi dan Ksatria
JNE selalu memastikan “cinta” itu datang tepat waktu dan dalam kondisi prima.
Tentu saja, saya terima juga dengan penuh cinta. Meski, saat ini rubrik resensi
di surat kabar langganan saya mengirimkan tulisan tidak ada lagi. Namun,
kenangan "cinta" itu akan selalu terpatri.
Kebahagiaan
menyelimuti mulai dari hulu ke hilir. Pengirim, yang mengirimkan, dan yang
menerima paket “cinta.” Seperti slogan JNE yaitu menyambungkan kebahagiaan dari
generasi ke generasi. Sebagai pengejawantahan niat mulia pendiri JNE, almarhum
Bapak H. Soeprapto Soeparno. Sejak 26 November 1990. JNE yang merupakan akronim
dari Jalur Nugraha Ekakurir mendedikasikan ke bidang pengiriman dan logistik.
Bekerja cerdas dan keras di bawah Visi “Menjadi Perusahaan Logistik Terdepan di
Negeri Sendiri yang Berdaya Saing Global” dan Misi “Untuk Memberi Pengalaman
Terbaik Kepada Pelanggan Secara Konsisten.”
Keteladanan
almarhum Bapak H. Soeprapto Soeparno masih dapat dirasakan, “Berbagi, Memberi,
dan Menyantuni.” Meski kini berbeda dunia dengan JNE beliau. Visioner,
berintegritas, dan selalu mengedepankan nilai-nilai kemanusian, maka kebaikan
dan keteladanan beliau yang mana lagi kita mau nafikan?
d. Menulis,
Menulis Lagi, dan Terus Menulis
Proses
menimba ilmu hanya selesai sampai di Tahap Membaca? Tidak. Sangat perlu
dilanjutkan ke Tahap Menulis. Saya manusia. Setiap manusia, tempatnya alpa.
Sudah banyak membaca tapi banyak lupa? Wajar karena kita manusia. Bukan
malaikat.
Kita
hanya mampu meminimalisir kealpaan hasil menimba ilmu dengan menulis.
Sebagaimana perkataan Ali bin Abi Thalib, “Ikatlah ilmu dengan
tulisan.”
e.
Membuka toko buku daring.
Kala sedang perekonomian keluarga tidak baik-baik
saja, ada sebuah penerbit yang menawarkan menjadi agen pemasaran buku-buku
terbitannya. Sat-set, segera saya lakoni. Alhamdulillah, pengiriman ke beberapa
daerah di luar Pulau Kalimantan-daerah domisili saya- difasilitasi oleh JNE.
Gerai JNE mudah ditempuh, dekat dari rumah. Meski, JNE melayani
antar-jemput, saya memilih mendatangi langsung gerai. Ada kebahagiaan yang tak
dapat dilukiskan.
2. Konsisten.
Tiada
kegiatan berkepanjangan dan berkesinambungan yang tidak memerlukan
kekonsistenan. Memang benar, peran yang kita pilih beririsan dengan kelelahan.
Bahkan bisa lelah lahir dan batin. Kadang rasa bosan, melanda. Ditambah dengan
hasil yang di luar ekspektasi. Runyam rasanya. Jatuh-bangun-jatuh lagi-dan
bangun lagi. Begitulah, konsep semestinya. Suatu konsep yang memerlukan
kekonsistenan. Bukan panas di awal terus dingin di pertengahan dan akhir.
Berbagai aral rintangan pernah menghadang saya.
Misalnya, saat anak-anak belum tersentuh hatinya akan buku bacaan. Meski judul
buku sudah disesuaikan dengan usia mereka. Mereka belum terbiasa mendapat
atmosfer literasi di rumahnya. Rintangan lainnya, kala anak-anak sudah suka
membaca tapi orangtua tidak mendukung. Alasannya, buku bacaan tidak penting.
Hanya buku pelajaran yang terkait dengan nilai raport yang wajib mereka baca.
Rintangan lainnya, saat anak-anak yang enggan membaca mengganggu anak-anak yang
senang membaca. Bermacam rintangan ini bisa diatasi dengan kekonsistenan.
Sama seperti kekonsistenan almarhum Bapak H. Soeprapto
Soeparno dan pergerakan sat set beliau hingga JNE besar seperti saat ini.
Sebagaimana yang tergambar pada logo JNE. Warna merah yang melambangkan
kekuatan, semangat, ambisi, dan dinamis. Kecerdasan dan ketenangan yang
diisyaratkan oleh warna biru. Penggunaan jenis huruf Italic yang menggambarkan
JNE mengedepankan kecepatan pelayanan untuk pengalaman terbaik semua pelanggan.
Efisiensi, efektifitas, dan fleksibilitas tertuang dalam bentuk garis melengkung
dari ukuran kecil ke besar.
3. Jalin
Kemitraan
Menjalin
kemitraan menjadi salah satu kunci kesuksesan perempuan berdaya. Seperti ynag
telah saya lakukan. Pertama, menjalin kemitraan dengan Komunitas Zero
Waste. Kegiatannya mendonasikan buku ke Rumah Pendidikan dan Literasi “Moco
Izzi.” Mendedikasikan diri di dunia Pendidikan dan Literasi mengantarkan saya
mendapat apresiasi dari Pemerintah Kota Balikpapan. Tepat di HUT Ke-128 Kota
Balikpapan sebagai “Warga Pelopor Bidang Akademik.”
Kemitraan ini juga telah lama dijalin oleh JNE. Bentuk
kemitraan JNE yang tentunya bergerak dalam bisnis jasa pengiriman yaitu program
agen atau mitra. Ditujukan baik perorangan maupun badan usaha. Selanjutnya,
agen atau mitra ini berhak untuk membuka gerai JNE dan melayani pengiriman
barang atas nama JNE di wilayahnya. Selain itu, ada pula jenis kemitraan lain
untuk perusahaan yaitu dengan menjadi Customer Corporate. Tugasnya mengirim
barang dalam jumlah besar. Tentunya dengan harga dan layanan khusus.
Mengapa
harus bersusah payah membangun minat berliterasi anak-anak? Berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2020
menunjukkan bahwa hanya sekitar 10% penduduk Indonesia yang rajin membaca buku.
Sejatinya, tujuan penciptaan manusia yaitu Khalifah
Fil Ardh. Pemimpin dan penanggung jawab di bumi. Termasuk pemimpin dan
penanggungjawab bidang literasi. “Iqra,” Bacalah!
Kondisi
alam pun turut menyumbang tingkat rendahnya literasi. Sebut saja daerah tempat
tinggal saya yang daerah pesisir. Lebih tepatnya di Manggar Baru, Balikpapan,
Provinsi Kalimantan Timur. Sektor perikanan, pariwisata, perkebunan, dan
perdagangan menjadi andalan kegiatan ekonomi. Profesi sebagai nelayan yang
sering melaut pada malam hari membuat orangtua khususnya para ayah melimpahkan
pendampingan pendidikan anak ke ibunya. Bagaimana dengan ibunya? Sejumlah ibu
yang saya temui, mengutarakan kelelahannya berdagang di pasar dan Pantai
Manggar. Mereka tidak lagi sanggup menemani anak-anaknya belajar pasca sekolah.
Alhasil, anak-anak duduk rapi di teras rumah dengan gawai di tangan. Ya, mereka
Mabar-Main Bareng.
Beruntung,
masih ada orangtua yang tetap tanggap pendidikan anak-anaknya pasca sekolah.
Memasukkan anak-anaknya di tempat bimbingan belajar atau les. Berkutat di dunia
pendidikan bimbingan belajar, membuat saya menyadari bahwa anak tak hanya perlu
bimbel. Mereka haus ruang cerita. Rupanya, mereka menyimpan segudang inspirasi.
Sayangnya, masih terbatas. Misalnya dari pemikiran mereka yang “out of the
box.”
Saya
memilih berperan bersama mereka. Berdaya menjadi perempuan literat dari rumah.
Menularkan virus literasi seluas-luasnya. Walaupun katanya memilih peran di
bidang literasi berarti memilih jalan sunyi. Semua peran bisa jadi memiliki
arah yang berbeda tetapi tetap satu tujuan. Tujuan menjadi Perempuan
3B. Perempuan Berdaya, Perempuan Berkarya, dan Perempuan Berjaya.
Setiap
perempuan bisa menjadi Perempuan 3B. Setiap perempuan bisa menjadi perempuan
literat. Berasaskan keyakinan dan pengamalan bahwa setiap orang termasuk
perempuan, sejatinya memiliki gagasan dan inspirasi yang datang dari mana saja.
Tanpa batasan ruang, waktu, dan bentuk. Sejalan dengan tema
JNE Content Competition Ke-12, “Melesat Sat-Set :
Inspirasi Tanpa Batas.”
Mulai
saja dulu. Hadapi setiap tantangan yang hadir untuk pengalaman. Kalau tidak
dari sekarang, kapan lagi?
Salam
Literasi.
#JNE
#ConnectingHappiness #JNE34SatSet #JNE34Tahun #JNEContentCompetition2025
#JNEInspirasiTanpaBatas