November
10
Jangan tanya apa yang ibuku punya setelah menjadi orangtua tunggal!
Ya, ibu hanya punya aku dan buku - buku warisan mbah kakung.
Kala itu, aku masih duduk di kelas 1 SD, namun ibu sedemikian tega mencecokiku dengan buku -
buku jadul itu yang masih menggunakan ejaan lama, seperti "yang" ditulis "djang".
Parahnya, ejaan lama itu justru memancingku untuk selalu membuka dan berusaha terus mengerti
kata per kata hingga membentuk kalimat.
Tentunya, ibuku tidak lepas tangan. Dengan mengerahkan segala cintanya, ibu membimbingku
menguasai buku - buku almarhum mbah kakung yang semasa hidupnya mengemban amanat sebagai
seorang guru. Sayang, aku belum sempat bertemu langsung dengan mbah kakung. Hanya mengenal
melalui cerita - cerita dari ibu. Ibulah yang "mendekatkan" aku dan mbah kakung secara tersirat
melalui buku - buku itu.
Kehilangan sosok bapak dan tumbuh sebagai anak yatim tidak lantas membuat ibu malas menuntut
ilmu. Sebaliknya, ibuku selalu menjadikan buku sebagai teman. Tidak mengherankan kalau selama
bersekolah ibu selalu menduduki kursi peringkat kelas.
Aku bersyukur terlahir dari rahim ibu. Ibu menularkan kecintaannya pada buku ke aku, anak
semata wayangnya. Meski ibu seorang diri membesarkanku dengan penuh perjuangan, ibu tetap
fokus pada pendidikanku.
Untuk menjamin kelangsungan sekolahku, ibu rela datang ke rumah tetangga setiap hari untuk
menyucikan pakaian seluruh anggota keluarga itu. Hmm...kalau sekarang lebih keren namanya, yaitu
Laundry. Kalau dulu mah, sering dipanggil "buruh cuci".
Tapi ibu tetap ibu. Ibu yang tidak mau peduli apa pun sebutan orang untuk dirinya atas pekerjaannya.
"Yang penting halal", begitu kata ibu.
Meski untuk membeli suatu keperluan saja ibu musti memutar otak, ibu selalu mengulurkan tangann
ya padaku dengan beberapa buku dan majalah.
Bukan seperti anak - anak zaman sekarang yang bukunya beli di toko buku di mall atau via online.
Buku Bekas! Ya, ibu hanya bisa membelikanku buku bekas mengingat keadaan ekonomi yang tidak
bersahabat untuk dapat membeli buku atau majalah anak baru.
Tapi yang membuatku hingga saat ini banjir air mata adalah ibu selalu punya jadwal pasti membeli
buku bekas. Artinya, setiap bulan ibu rutin mendatangi kios - kios buku loak. Tanpa membawa aku.
Bertahun - tahun ibu lakukan hal itu. Hingga tahun 1994 kami tidak lagi bisa bersama tanpa
komunikasi via apapun. Baru dapat memeluk erat satu dengan yang lainnya setelah 17 tahun
kemudian. Saat terpisah aku masih anak - anak dan kala bersua lagi aku sudah memiliki anak. Jangan
tanya salah siapa! Karena tidak ada yang salah. Hanya terkadang tidak selalu yang kita impikan akan
kita dapatkan meski perjuangan berat telah kita lakukan.
Kegemaranku membaca rupanya telah mendarah daging meski aku tidak lagi tinggal bersama ibu.
Bagiku, ibuku pahlawanku. Salah satunya Pahlawan Literasi bagiku.
Aku merasa bersalah bila semangat literasi ibu tidak aku turunkan kepada anak - anakku. Lebih luas
lagi aku memimpikan dapat menularkan virus literasi kepada anak - anak lain.
Dari ibu aku belajar, tidak perlu menjadi orang kaya, berlimpah materi dulu baru mau membelikan
buku untuk anak - anaknya (buku non pelajaran).
Dari ibu aku belajar untuk tidak menyerah begitu saja pada keadaan. Kekurangmampuan dari segi
ekonomi jangan dijadikan alasan menjauh dari buku. Tidak mampu membeli berarti mau menulis
isinya, agar selalu ingat. Aku selalu mencatat isi buku - buku bacaan (fiksi dan nonfiksi) yang aku
pinjam dari teman - temanku semasa di universitas. Bukan tidak mau membelinya, namun "alat
tempur" yang ku punya hanya mampu untuk modal mencopy buku materi kuliah.
Ibu, suatu hari aku akan menuliskan kisah kita tentang buku di sebuah buku yang aku tulis sendiri.
Mohon doa restunya ya, Bu!