twitter
rss

Pertanyaan apa yang sering diutarakan saat reunian dengan teman, guru, dosen atau bahkan keluarga jauh kita? Ya benar! "Kerja dimana?" Bagi yang bekerja (apatah lagi kalau pekerjaannya di perusahaan bonafit terkenal) pasti dengan ringan menjawab pertanyaan itu. Tapi bagaimana dengan mereka yang berpenghasilan kecil di tempat kerja yang kecil pula atau (hanya) di rumah? Tentu lidah terasa kelu, kalau terjepit dalam kondisi begini ingin rasanya mengambil langkah seribu, Bersedia...Siap...Ya...

Sejak menikah, suami memberikan lampu lalu lintas berwarna merah untukku menyandang predikat wanita karir. Sempat terbaca oleh kedua mataku sebuah postingan di internet yang menuliskan, " Suami yang melarang istrinya bekerja adalah suami yang egois". Berarti suamiku egois? Masak, sih?" Eits..tunggu dulu, kubiarkan akal sehatku berbicara dan beginilah perkataan akal sehatku, "Bukankah dirimu seorang pesakitan yang kapan pun dan dimana pun bisa masuk UGD karena asma?". Hati nuraniku pun menjawab, "Oh, iya ya! Ternyata suamiku bukan tipe orang egois".

Apakah aku bebas dari zona nyaman? Belum! Menyandang gelar sarjana membuatku berjibaku dengan pikiran dan perkataan negatif orang tentang seorang sarjana yang hanya di rumah. "Mbak, nanti kalau suaminya meninggal gimana dengan anak - anak? Bagaimana mereka bisa tetap hidup dan sekolah?" demikian pertanyaan dari salah seorang adik tingkatku. Yang paling amat sangat sering (saking keseringannya) kudengar adalah, "Buat apa kuliah capek -capek, keluar duit banyak, buang waktu kalau cuma jadi ibu rumah tangga. Apa enggak kasihan sama orang tua?"

Daku sudah sering bertanya kepada Fiqri, anak sulungku sejak ia berumur 3 tahun, "Mimi kerja ya?" Jawabnya, "Enggak boleh". "Kenapa", tanyaku balik. Ia hanya menjawab, "Pokoknya enggak boleh". Walau memberikan lampu warna merah bukan berarti suami mengekang kesenanganku. Karena suami tahu cita -citaku sedari dulu adalah menjadi guru, maka diberikan lampu hijau membuka privat anak - anak di rumah. Sisi positifnya, aku tetep bisa menghasilkan pendapatan sembari menjaga Fiqri. Sepertinya ia merasa aman dan nyaman selalu bersamaku.

Tugas antar - jemput Fiqri TK pun kulakoni hingga 1 tahun. Namun, saat ia memasuki masa sekolah dasar (6), sebuah tawaran dari suami untuk menjadi guru di sekolah dasarnya Fiqri datang. Ya, karena suami tertarik dengan pola pendidikan di sekolah tersebut dan asmaku tak pernah datang menyapa lagi sejak 3 tahun lalu. Daku pikir, Fiqri yang akan jadi batu penghalangku. Ternyata daku salah. Fiqri justru mendukungku menjadi salah seorang guru di sekolahnya. Kesimpulan yang bisa kutarik : Fiqri merasa ia ingin aku selalu ada di setiap waktunya. Namun, bukan berarti ia memintaku jadi guru di kelasnya. Anak hanya ingin lebih banyak melihat orang tuanya, terutama ibunya.  Karena daku pernah menjalankan tugas sebagai full IRT dan sekarang merangkap sebagai ibu yang bekerja di luar rumah jadi daku tahu rasa asam manis keduanya.
Di Sekolah


Ada pendapat yang menyatakan: Quality Time lebih utama daripada Quantity Time. Tapi, ada juga yang lebih suka keduanya harus berjalan selaras, serasi dan seimbang. Pada kenyataannya sangat sulit mengkompakkan keduanya. Apatah lagi dewasa ini, seorang ibu akan dianggap bernilai lebih dan wow jika menjadi wanita karir. Sedangkan jika di KTP tertulis status pekerjaan: IRT, mungkin disuruh, "Ke laut aje!"

Paling dongkol kalau IRT dicap dengan kata : HANYA! Coba lihat apa saja yang dikerjaan IRT seharian penuh, dari mulai mata terbangun dari tidur hingga tidur lagi. Rasa - rasanya pekerjaan itu enggak ada habisnya. Kalau di kantor, jam pulang kerjanya jelas. Sedangkan kalau IRT? Bisa diasumsikan jam kerjanya 24 jam, 7 hari, 30 hari, 12 bulan dan seterusnya. Bahkan banyak IRT yang kekurangan jam istirahat. So, masih mencibir IRT? Masih berani memberikan predikat HANYA kepada IRT?

Sarjana tapi IRT enggak dosa kok. Masih bisa berkontribusi kepada masyarakat , misalnya melalui bimbingan belajar atau privat. Apalagi kalau anak didiknya dari kalangan kurang mampu, bernilai sosial bukan? Atau membuka usaha kecil menengah yang mampu membuka lapangan pekerjaan bagi ibu - ibu lainnya? Meskipun di rumah, seorang IRT bisa menjadi Bukan Ibu Rumah Tangga Biasa.

Memutuskan berprofesi di luar rumah juga bukan kesalahan. Tentu dengan segala konsekuensi yang memerlukan pertimbangan matang, seperti siapa yang akan mengasuh anak, bagaimana letihnya sepulang kantor masih harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan sebagainya. Salah itu justru terletak jika kita memberikan stempel kepada ibu yang berkarir di luar rumah sebagai ibu yang tidak sayang pada anaknya, ibu yang mau bebas, ibu yang ingin lari dari pekerjaan rumah tangga atau ibu yang malu jika di KTP - nya tertulis pekerjaan : Mengurus Rumah Tangga atau apalah pikiran negatif lainnya.Salah itu juga kalau bisanya cuma mengolok - ngolok kepada full IRT.

Ibu SH, sangat menyayangi anak  - anaknya. Jika disuruh memilih, beliau akan memilih sebagai full IRT. Tapi, sayang jika ia tak bekerja keuangan keluarganya akan porak - poranda karena pendapatan suaminya kurang mencukupi biaya bulanan mereka. Seperti sebuah pesan dari seorang sahabat terbaikku yang masuk melalui inbox Fb, "Ternyata ibu bekerja, sebagian bukan karena hobby dan enggak mau urus keluarga, melainkan terpaksa".

Tentu akan banyak Ibu SH lainnya yang bernasib sama, harus bekerja. Jadi enggak fair dong kalau kita memicingkan mata kepada ibu yang bekerja. Bukankah kita sesama wanita? Tegakah wanita menyakiti hati wanita lainnya?

Jodoh, rizki, kelahiran dan kematian telah diatur oleh Pencipta kita. Sebagai hamba - Nya kita menjalankan peran masing - masing melalui jalan juang masing - masing pula. Seperti bumbu dapur, antara satu dengan yang lainnya saling melengkapi sehingga tersaji makanan yang lezat. Masak sih kita manusia yang diberi kelebihan akal dan pikiran kalah sama bumbu dapur? Lebih enakan kalau setiap jalan juang wanita(ibu)dibuat cerita dalam sebuah buku yang dapat menginspirasi wanita(ibu) lainnya. Eh, dapat royalti 'kan dari buku itu nantinya? Asyik enggak tuh?
Stop deh, saling sikut antara IRT dan Wanita Karir!

#stopmomwar' 

Karena setiap wanita punya jalan juang!


Tulisan ini diikutsertakan dalam GA Every Mom Has A Story 


0 komentar: